Artikel

Ayo Makan Ikan  . . .
Masa balita adalah the point of no return. Perkembangan otak tidak bisa diperbaiki bila mereka kekurangan gizi pada masa ini. Pertumbuhan fisik dan intelektualitas anak akan terganggu. Hal ini menyebabkan mereka menjadi “generasi yang hilang”, dan negara kehilangan sumber daya manusia yang berkualitas. Salah satu cara terbaik membekali mereka adalah menyediakan aneka makanan berbahan dasar ikan dan seafood.

Disadari atau tidak, hilangnya suatu generasi telah terjadi di negeri ini. Maka apabila kondisi ini tidak segera diatasi, generasi mendatang akan menjadi generasi yang berkualitas inferior dibandingkan negara-negara lain. Berdasarkan indeks sumber daya manusia (Human Development Index/HDI) dari UNDP, di tahun 2009 peringkat SDM Indonesia berada diurutan 111. Kualitas hidup manusia di Indonesia menurut UNDP masih lebih rendah di banding negara-negara tetangga di Asia Tenggara. Singapura, misalnya berada di ranking 23 (HDI 0,944), Brunei Darussalam ranking 30 (HDI 0,920), dan Malaysia ranking 66 (HDI 0,829). Sementara Thailand berada pada ranking 86 (HDI 0,783), dan Filipina ranking  105 (HDI 0,751)

Situasi rawan gizi pada anak balita dan usia sekolah tidak boleh dipandang sebelah mata, karena menimbulkan akibat lanjutan yang kompleks dan berujung pada degradasi kualitas sumber daya. Hal itu karena pertama, masalah gizi yang parah pada usia muda akan menghambat laju tumbuh kembang keadaan fisik anak. KEP berkelanjutan membuat anak menderita marasmus-kwashiorkor.

Kedua, masalah gizi menghambat perkembangan kecerdasan. Kasus malnutrisi akan menyebabkan Indonesia kehilangan lebih dari 200 juta angka potensi IQ/tahun (30 persen dari peluang produktivitas).

Ketiga, penyakit degeneratif pada usia muda—yang bukan disebabkan oleh faktor genetika—dapat timbul akibat masalah gizi. Pada penderita gizi buruk, struktur sel-sel tubuh tidak tumbuh sempurna. Misalnya jumlah pertumbuhan sel otak tidak maksimum, terjadinya jantung koroner, serta rusaknya pankreas yang mengakibatkan insulin tidak berfungsi optimal sehingga anak menderita diabetes.

Keempat, malnutrisi berkelanjutan meningkatkan angka kematian anak. Di Jateng sepanjang tahun 2004-2007 setidaknya 341 kasus gizi buruk berujung pada kematian.

Terlalu lama kita membiarkan rakyat makan seadanya. Sebagai Negara yang 75 persen wilayahnya berupa lautan yang luasnya 5,8 juta km persegi, konsumsi ikan rakyat kita masih rendah. Tingkat konsumsi ikan per kapita di Jawa Tengah tahun 2007 kurang dari 26 kg/kapita/tahun.

Rendahnya tingkat konsumsi ikan per kapita per tahun ini menunjukkan masih rendahnya budaya makan ikan dibandingkan negara-negara lain seperti Jepang (110 kg), Korea Selatan (85 kg), Amerika Serikat (80 kg), Singapura (80 kg), Hongkong (85 kg), Malaysia (45 kg), dan Thailand (35 kg).

Ada beberapa variabel yang ternyata menyebabkan rendahnya minat masyarakat kita untuk makan ikan. Pertama, adalah problem sosiologis. Di kalangan masyarakat pesisir, pola makan ternyata ada kaitannya dengan status sosial. Semakin sering orang makan daging (red meat) maka semakin tinggi pula status sosialnya. Kedua, problem ekonomi, yakni rendahnya daya beli masyarakat. Ketiga, adalah pengaruh globalisasi pola pangan. Meningkatkan Kosumsi

Inilah kenapa, konsumsi ikan perlu ditingkatkan. Paling tidak ada tiga alasan. Pertama, faktor biologis, mengingat umumnya ikan mengandung protein yang dibutuhkan kesehatan manusia. Dengan makan ikan yang mencukupi maka dapat memberikan dua keuntungan bagi kita. Pertama, baik untuk kesehatan dan meningkatkan daya tahan tubuh terhadap berbagai macam penyakit. Kedua, asam lemak tak jenuh, termasuk omega-3, yang terkandung dalam ikan, sangat membantu perkembangan sel otak yang dapat meningkatkan kecerdasan (IQ) manusia.

Oleh karena itu, wajar jika bangsa Jepang yang mengkonsumsi ikan rata-rata 110 kilogram (kg)/orang/tahun merupakan bangsa dengan kualitas kesehatan serta kecerdasan tertinggi di dunia.

Kedua, faktor ekonomi yakni agar permintaan terhadap produk ikan meningkat. Dengan meningkatnya permintaan dapat merangsang meningkatnya penawaran, yang berarti makin tumbuhnya usaha perikanan, terserapnya tenaga kerja, serta segudang multiplier effect lainnya. Ketiga, faktor sosial budaya, yakni mempertahankan identitas bangsa kita sebagai bangsa bahari.

Problem rendahnya konsumsi ikan kita memang kompleks, sehingga upaya mengatasinya pun juga harus memperhatikan berbagai variabel. Pertama, dari sisi permintaan, yakni bagaimana agar masyarakat tertarik untuk makan ikan. Instrumennya adalah kampanye makan ikan. Melalui gerakan makan ikan secara sistematis akan mendorong tumbuhnya kesadaran masyarakat akan pentingnya kandungan gizi dalam ikan. Kedua, dari sisi penawaran, yakni bagaimana mengupayakan ketersediaan ikan (baik dalam bentuk mentah maupun olahan) dalam jumlah cukup dengan harga terjangkau.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar